Klasifikasi Akad Atau Perjanjian
KLASIFIKASI AKAD / PERJANJIAN
Oleh
Prof.Dr.Abdullah al-Muslih
Prof.Dr.Shalah ash-Shawi
Akad memiliki banyak klasifikasi melalui sudut pandang yang berbeda-beda. Di sini akan kita singgung sebagian klasifikasi tersebut:
PERTAMA : DARI SEGI TAKLIFI
Berkaitan dengan soal perjanjian ada beberapa hukum syariat yang ditetapkan. Berdasarkan sudut pandang ini, perjanjian terbagi menjadi lima:
1. Akad wajib. Seperti akad nikah bagi orang yang sudah mampu menikah, memiliki bekal untuk menikah dan khawatir dirinya akan berbuat maksiat kalau tidak segera menikah.
2. Akad sunnah. Seperti meminjamkan uang, memberi wakaf dan sejenisnya. Dan inilah dasar dari segala bentuk akad yang disunnahkan.
3. Akad mubah Seperti perjanjian jual beli, penyewaan dan sejenisnya. Dan inilah dasar hukum dari setiap bentuk perjanjian pemindahan kepemilikan baik itu yang bersifat materi atau fa-silitas.
4. Akad makruh. Seperti menjual anggur kepada orang yang masih diragukan apakah ia akan membuatnya menjadi minuman keras atau tidak. Dan inilah dasar hukum dari setiap bentuk akad yang diragukan akan bisa menyebabkan kemaksiatan.
5. Akad haram. Yakni perdagangan riba, menjual barang haram seperti bangkai, darah, daging babi dan sejenisnya.
KEUA : DARI SUDUT PANDANG SEBAGAI HARTA (AKAD MATERIAL) ATAU BUKAN MATERIAL.
Kalau ditinjau dari sudut sebagai harta atau bukan, akad terklasifikasikan menjadi tiga:
1. Akad harta dari kedua belah pihak disebut sebagai perjanjian materi, seperti jual beli secara umum, jual beli salm dan sejenisnya. Demikian juga perjanjian terhadap fasilitas, seperti penyewaan dan peminjaman barang. Karena fasilitas termasuk harta atau dijustifikasikan sebagai harta menurut mayoritas para ulama, berbeda dengan pendapat kalangan Hanafiyah.
2. Akad selain harta dari kedua belah pihak. Yakni akad yang terjadi terhadap satu pekerjaan tertentu tanpa imbalan uang, seperti gencatan senjata antara kaum muslimin dengan orang-orang kafir harbi, akad penjaminan, wasiat dan sejenisnya.
3. Akad harta dari satu pihak dan selain harta dari pihak lain Seperti akad khulu’, akad jizyah, akad pembebasan denda, dan sejenisnya.
Yang terkuat dari semua akad itu adalah akad selain harta dari kedua belah pihak. Karena akad yang bersifat material bisa dibatalkan karena adanya cacat pada barang kompensasinya. Seperti transaksi uang dengan barang dagangan. Sementara akad non material hanya bisa dibatalkan bila terjadi hal yang mencegah berlangsungnya akad tersebut.
KETIGA : DILIHAT DARI SUDUT PANDANG SEBAGAI AKAD PERMANEN ATAU NON PERMANEN
Dilihat dari sudut permanen atau tidaknya, akad diklasifikasikan menjadi tiga pula:
1. Akad permanen dari kedua belah pihak yakni akad yang terjadi di mana masing-masing dari kedua belah pihak tidak mampu membatalkan akad tersebut tanpa kerelaan pihak lain. Seperti akad jual beli, sharf, salm, penyewaan dan sejenisnya.
2. Akad non permanen dari kedua belah pihak yakni bahwa salah satu dari kedua belah pihak bila menghendaki bisa membatalkan akad tersebut. Contohnya, syirkah, wikalah, peminjaman, menanam modal dengan sistem qiradh, wasiat dan sejenisnya.
3. Akad permanen dari salah satu pihak namun non permanen pada pihak lain. Seperti penggadaian barang setelah barang di tangan, penjaminan dan sejenisnya.
Di antara hukum yang berlaku pada akad permanen adalah tidak ada pilihan (khiyar) yang bersifat selamanya, dan tidak ada pula pembatalan setelah kematian salah satu yang terlibat dalam akad atau keduanya, salah satu menjadi gila atau pingsan dan sejenisnya. Lain halnya dengan akad non permanen. Kalangan Hanafiyah berpendapat lain dalam soal penyewaan. Mereka menyatakan: “Penyewaan itu terbatalkan setelah kematian. Karena akad itu berlangsung pada fasilitas barang, dan fasilitas itu mun-cul sedikit demi sedikit. Fasilitas yang diambil setelah wafatnya pemilik barang tentu saja belum ada ketika terjadi akad. Maka dengan sendirinya dalam akad penyewaan batas itu setelah kema-tian pemilik.
KEEMPAT : DILIHAT DARI SUDUT PANDANG APAKAH ADA SYARAT PENYERAHAN BARANG LANGSUNG ATAU TIDAK
Dilihat dari keharusan adanya penyerahan barang langsung atau tidak, perjanjian/akad terbagi menjadi dua:
1. Akad yang tidak mengharuskan serah terima barang secara langsung pada saat akad, seperti jual beli secara umum, wikalah, hiwalah dan lain-lain.
2. Akad yang mengharuskan serah terima barang secara langsung. Dan akad semacam ini, terbagi pula menjadi tiga:
a) Akad yang disyaratkan harus ada serah terima barang secara langsung untuk memindahkan kepemilikan, seperti hibah dan peminjaman uang. Dalam semua perjanjian ini kepemilikan tidak berpindah hanya berdasarkan akad, tetapi harus ada serah terima barang secara langsung, menurut mayoritas para ulama terkecuali kalangan Malikiyah.
b) Akad yang mensyaratkan serah terima barang secara langsung sebagai syarat sahnya, seperti sharf (Money Changer), jual beli salm dan penjualan komoditi yang ribawi. Dalam sharf (Money Changer) dan penjualan komoditi ribawi harus ada penyerahan barang langsung dan juga pembayarannya dalam satu waktu, kalau tidak akad jual beli itu rusak. Namun dalam jual beli salm harus didahulukan pembayaran harga modal dalam waktu akad, kalau tidak, jual beli itu juga rusak. Sebagian kalangan Malikiyah membolehkan penangguhan pembayaran harga modal itu hingga tiga hari. Karena sesuatu yang dekat dengan sesuatu, dianggap sama hukumnya dengan sesuatu tersebut.
c) Akad yang akan menjadi permanen bila ada serah terima barang secara langsung, seperti hibah dan pegadaian, maka mayoritas ulama berpendapat bahwa akad-akad itu tidak dianggap permanen dengan sekedar akad tersebut, tetapi dipersyaratkan serah terima barang untuk menjadikan akad tersebut permanen. Orang yang menghibahkan barangnya berhak untuk membatalkan hibahnya sebelum ada serah terima barang menurut mayoritas ulama. Namun sebagian ulama Malikiyah tidak berpendapat demikian. Demikian juga penggadaian itu dianggap batal menurut mayoritas ulama bila orang yang menggadai barang meng-gagalkannya sebelum diterima barang oleh pihak yang menerima gadaian. Demikian seterusnya.
KELIMA : DARI SUDUT PANDANG APAKAH ADA KOMPENSASINYA ATAU TIDAK
Berkaitan dengan ada atau tidak adanya kompensasi, perjanjian/akad terbagi menjadi dua:
1. Akad dengan kompensasi, seperti jual beli, syirkah, penyewaan, pernikahan dan sejenisnya.
2. Akad sukarela, seperti hibah, penitipan, sponsorship dan sejenisnya.
Pengaruh dari klasifikasi ini adalah sebagai berikut:
a. Adanya syarat untuk harus mengetahui bentuk kompensasi dalam berbagai akad dengan kompensasi. Komoditi berharga, uang pembayaran, upah dan sejenisnya. Dalam semua perjanjian tersebut kompensasi-kompensasi itu harus diketahui, kecuali dalam soal mahar atau kompensasi khulu’. Ketidaktahuan soal mahar atau kompensasi khulu’ tidak membatalkan akad. Karena ada barometernya, yaitu mahar standar. Adapun akad sukarela, karena memang tidak membutuhkan kompensasi, tidak mengapa bila ada ketidakjelasan kompensasinya bila hendak diberikan, atau ada sedikit manipulasi, karena semua itu didasari oleh kemu-dahan dan tanpa batasan.
b. Wajibnya menunaikan apa yang menjadi perjanjian kedua belah pihak yang terikat, dalam perjanjian dengan kompensasi, berdasarkan firman Allah:
“Artinya : Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu…” [Al-Maidah : 1]
Karena dengan tidak ditunaikannya perjanjian itu pasti akan terjadi kerugian pada pihak lain yang terikat, yakni hilangnya secara sia-sia segala kompensasi yang dia berikan sebagai imbalannya. Lain halnya dengan akad sukarela di mana pemberian kompensasi itu hanya dianjurkan, tidak diwajibkan. Karena orang yang melakukan akad tersebut hanya berbuat baik. Orang yang sekedar melakukan amal kebajikan, tentu tidak diwajibkan dituntut kompensasi apa-apa.
KEENAM : DARI SUDUT PANDANG LEGALITASNYA
Dipandang dari legalitasnya, akad terbagi menjadi dua:
1. Akad legal atau akad yang sah. Yakni akad yang secara mendasar dan aplikatif memang disyariatkan. akad yang memenuhi rukun-rukunnya dan aplikasinya secara bersamaan. Sehingga berlaku seluruh konsekuensi akad yang sah, seperti jual beli, sewa menyewa dan sejenisnya, apabila seluruh rukun-rukun dan syarat-syarat sahnya sudah terpenuhi.
2. Akad ilegal atau akad yang batal. Yakni akad yang diang-ap ajaran syariat tidak diberlakukan padanya segala konsekuensi akad yang sah. Batasannya adalah segala akad yang pada asalnya dan secara aplikatifnya tidak disyariatkan, seperti akad orang gila, anak kecil yang belum baligh, atau akad usaha terhadap barang yang haram seperti bangkai, darah, daging babi dan sejenisnya. Atau akad yang secara asal disyariatkan, tetapi secara aplikatif tidak disyariatkan, seperti akad dengan orang di bawah paksaan, akad untuk barang yang tidak diketahui dalam akad dengan kompensasi.
Kalangan Hanafiyah membedakan antara akad yang secara asal dan secara aplikatif tidak disyariatkan, dan itu mereka sebut akad batil, dengan perjanjian yang secara asal disyariatkan namun secara aplikatifnya tidak, dan itu mereka sebut sebagai akad yang rusak. Berdasarkan pembedaan ini, terbentuk beberapa hasil praktis berkaitan dengan adanya konsekuensi terhadap akad rusak atau batil alias ilegal. Di antara konsekuensi tersebut menurut kalangan al-Hanafiyah adalah sebagai berikut:
Berpindahnya kepemilikan dalam akad rusak dengan serah terima barang bila direlakan oleh penjual. Si pembeli boleh secara bebas mengoperasikan barang tersebut dengan menghibahkannya, menyedekahkannya dan sejenisnya, kecuali menggunakan fasilitasnya. Pemindahan kepemilikan tersebut tentunya dengan kompensasi harta yang sama, bukan dengan pelafalan harga tertentu saja.
Bagi penjual, keuntungan dari perjanjian usaha penjualan rusak tersebut tetap baik adanya, lain halnya dengan pembeli. Alasan pembedaan itu menurut para ulama bahwa uang itu tidak bisa ditentukan dengan pembatasan nilai melalui pelafalan saja, sehingga tidak mungkin dinyatakan jelek, lain halnya dengan barang.
Akad jual beli yang rusak itu masih bisa diperbaiki, kalau kerusakannya dianggap ringan, yakni bila tidak menyentuh inti akad, seperti ketidaktahuan batas waktu pembayaran dalam soal khiyar (waktu tenggang menentukan transaksi), dalam harga dan sejenisnya. Adapun apabila kerusakan itu berat, yakni yang sudah menyentuh inti perjanjian, seperti dalam hal barang yang akan dijadikan obyek perjanjian atau kompensasi dari barang tersebut, karena semua itu tidak bisa menerima perbaikan menurut kesepakatan para ulama.
Adanya khiyar dalam sebuah akad rusak sama halnya dengan adanya pada sebuah akad normal. Baik perjanjian yang menggunakan hak pilih menentukan persyaratan atau hak pilih untuk tidak mengambil barang karena cacat.
[Disalin dari buku Ma La Yasa’ut Tajiru Jahluhu, edisi Indonesia Fikih Ekonomi Keuangan Islam oleh Prof.Dr.Abdullah al-Muslih dan Prof.Dr.Shalah ash-Shawi, Penerjemah Abu Umar Basyir, Penerbit Darul Haq, Jakarta hal. hal.32-38]
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/1672-klasifikasi-akad-atau-perjanjian.html